Selasa, 08 Januari 2013

mengapa koperasi indonesia ”hidup segan, mati tak mau” ?


Seiring berjalannya waktu, perkoperasian Indonesia seakan ”hidup segan, mati tak mau”. Yang lebih sering terdengar di negeri ini hanya kegagalan-kegagalan yang terjadi pada koperasi di Indonesia. Walaupun pemerintah telah memiliki kementerian yang menangani koperasi, namun kemauan pemerintah untuk membangun koperasi belum sepenuh hati. Hal ini menghambat fungsi koperasi sebagai urat nadi perekonomian Indonesia.
Koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia pun nampaknya kurang lagi tepat dengan keadaan saat ini. Koperasi yang diharapkan sebagai penggerak perekonomian rakyat Indonesia, pada kenyataannya hanyalah sebagai angin lalu saja. Cukup banyak koperasi yang bermunculan, namun banyak pula yang hanya meninggalkan namanya saja dan hilang seiring berjalannya waktu. Pada hal sesungguhnya koperasi hadir sebagai wadah untuk mensejahterakan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah Koperasi Unit Desa (KUD) yang semakin hari semakin tenggelam namanya. Biasanya KUD membawahi beberapa usaha seperti Unit Simpan Pinjam, pakan ternak, obat-obatan pertanian dan pembayaran listrik. Biasanya kendala utama yang membuat koperasi ini seolah hidup segan mati tak mau adalah banyaknya tengkulak sayur. Ulah tengkulak dalam perekonomian masyarakat Indonesia memang sudah menjadi cerita lama. Keberadaan tengkulak tentu saja merugikan petani, sebab dengan modal yang mereka miliki, mereka mampu menguasai pasar dan membeli hasil pertanian dengan harga murah, kemudian menjual kembali dengan harga jauh diatas harga beli yang bertujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.  Hal ini yang mematikan nasib para petani. Namun untuk mengurangi dampak dan kerugian yang disebabkan oleh para tengkulak, para petani menggelar pasar umum untuk menjual hasil pertaniannya langsung ke tangan para konsumen tanpa harus melalui para tengkulak.
Pemerintah sebagai regulator dirasa belum mampu berbuat banyak terhadap penentuan harga sayur dipasar. Saat ini berbeda dengan saat dimana Soeharto masih menjabat sebagai presiden, sekarang hanya sebatas mengkoordinir namun tidak ada tindak lanjutnya. Misalnya saja,  dulu ketika zaman orde baru, distribusi pupuk dari pemerintah disalurkan melalui koperasi, namun saat ini pemerintah lebih percaya kepada distributor tunggal.  Hal ini sangat disayangkan karena akan mematikan koperasi secara perlahan dan hanya menguntungkan pihak distributor tunggal yang memang lebih bermodal besar.
Mungkin saat ini di KUD hanya unit simpan pinjam lah yang masih berjalan dengan baik. Prinsip simpan pinjam di KUD tidak seperti bank. Jika di bank untuk meminjam uang harus menggunakan jaminan, di KUD untuk meminjam uang jaminannya hanya berupa modal kepercayaan atau kekeluargaan saja.  Inilah asas yang sering dilupakan oleh KSP (Koperasi Simpan Pinjam). Banyak Koperasi Simpan Pinjam kini bertindak sebagai Bank Perkreditan Rakrat (BPR).
KUD merupakan salah satu sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Artinya, terhambatnya KUD menjadi cermin seretnya kemajuan perekonomian di pedesaan dan hal ini membuat ancaman pengangguran di pedesaan semakin bertambah .
Dari sini tampak jelas kemauan pemerintah membangun perekonomian berbasis kerakyatan belum sepenu hati. Pemerintah seolah tak serius memajukan perekonomian berbasis kerakyatan ini. Hal ini disebabkan banyak program yang sesungguhnya bermanfaat besar bagi masyarakat namun tidak tersosialisasikan dengan baik. Salah satu contohnya yaitu standarisasi aturan pendirian koperasi yang tidak jelas.
          Akibatnya masing-masing notaris memiliki aturan yang berbeda-beda dalam menentukan persyaratan pendirian koperasi.  Situasi ini diperparah lagi oleh kemauan pemerintah yang terlanjur memilih sistem ekonomi liberal sebagai jiwa pembangunan ekonomi Indonesia. Padahal ekonomi pedesaan pada umumnya dan koperasi khususnya, tidak mungkin dibiarkan sendiri “berperang” menghadapi para pengusaha yang memiliki modal besar. Seharusnya, pemerintah memberi perlindungan, perhatian dan bantuan lebih besar pada koperasi dan perekonomian desa.
          Hambatan lain yang dihadapi koperasi atau ekonomi kerakyatan adalah dari sisi permodalan. Kemampuan koperasi, terutama KUD, untuk mendapatkan akses pembiayaan terkendala aturan main yang ada di bank. Padahal dana masyarakat yang terkumpul di bank sudah mencapai Rp 2.100 trilliun. Sesuai dengan ketentuan perbankan, 80% dari dana masyarakat itu seharusnya dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk pinjaman atau Loan Deposit Ratio (LDR). Tapi, kenyataannya, hingga 2010 pengembalian dana atau LDR perbankan ke masyarakat, misalnya untuk sektor pertanian, baru mencapai 5%. Penyebabnya, tak lain, karena masyarakat kecil umumnya dan koperasi pada khususnya tidak sanggup memenuhi syarat untuk mendapatkan kucuran kredit yang dikenal dengan prudential bank berupa 5 C (capital, condition, character, capacity dan collateral). Dari kelima prudential bank itu yang paling sulit dipenuhi oleh koperasi adalah collateral atau agunan. Agunan berupa sertifikat tanah adalah paling layak oleh bank, tapi bagi petani cukup memberatkan. Karena, sebagian besar petani pemilik sawah belum tentu memiliki sertifikat. Syarat lainnya, yang juga sulit, adalah soal karakter hasil pertanian yang dikelola KUD memiliki risiko yang sangat besar. Perbankan menganggap syarat ini penting lantaran sifat barang-barang produk pertanian mudah rusak, dan tidak tahan lama. Ternyata belum ada upaya untuk memperbaiki peraturan perbankan ini. Padahal aturan itu seharusnya bisa diubah oleh DPR, kalau memang benar-benar mau memperjuangkan masyarakat. Nyatanya, hingga kini peraturan itu masih tetap berlaku, akibatnya masyarakat kesulitan mendapat kredit. Padahal masalah permodalan sudah sejak lama menjadi kendala dalam memajukan ekonomi masyarakat.
          Akibat dari itu semua, yang terjadi kemudian terjadi saling tidak percaya antara petani dan koperasi di satu pihak dengan bank di lain pihak. Sehingga yang terjadi sekarang banyak petani dan koperasi yang memercayakan penyimpanan uangnya di bank, tetapi bank tidak mempercayai petani atau koperasi sebagai salah satu penerima kredit.

Referensi :
http://partaigerindra.or.id/2012/01/05/koperasi-hidup-segan-mati-tak-mau.html
http://kavlingsepuluh.blogspot.com/2012/05/koperasi-nasibmu-kini.html#!/2012/05/koperasi-nasibmu-kini.html 
http://gunadarma.ac.id
by: Ratu Citra Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar